oleh Savran Billahi*
Rasulullah adalah sosok yang lemah lembut terhadap siapa pun, termasuk
kepada para kafir Quraisy. Namun dalam catatan hadis, Rasulullah diketahui beberapa
kali naik pitam, di antaranya ditujukan kepada para sahabat yang sangat
bersemangat dalam beragama. Sebagai hadis, teguran langsung untuk sahabat itu
menjadi peringatan dan pelajaran kepada umatnya sampai hari akhir.
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya,
dari Abu Mas'ud, "Seseorang lelaki berkata: 'Wahai Rasulullah, saya ingin
datang agak telat saat shalat jamaah Subuh, karena imam si fulan memanjangkan
bacaannya.' Rasulullah pun Marah. Aku (Abu Mas'ud) tidak pernah melihat beliau
marah melebihi marahnya saat itu. Kemudian beliau bersabda: 'Wahai manusia
sekalian, sesungguhnya di antara kalian ada orang-orang yang menjauhkan orang
lain dari agama Allah. Barangsiapa menjadi imam shalat maka hendaklah
memperpendek bacaannya, karena dalam deretan makmum ada orang lemah, lanjut
usia, dan memiliki keperluan.'"
Imam Bukhari juga meriwayatkan hadis Jabir bin Abdullah al-Anshari, ia
berkata:
"Ada seseorang datang dengan membawa dua ekor unta Nadhih (pengangkut
air untuk menyiram tanaman dan kebun) ketika hari menjelang malam. Ia mendengar
Mu'adz sedang shalat. Ia pun meninggalkan untanya dan ikut shalat berjamaah
bersama Mu'adz. Kemudian Mu'adz membaca surah al-Baqarah dan an-Nisa, hingga ia
pun meninggalkan Mu'adz (untuk shalat sendiri). Lantas ia mendengar berita
bahwa Mu'adz mengecam tindakannya. Akhirnya orang tersebut menemui Rasulullah,
dan mengadukan perbuatan Mu'adz itu. Rasulullah bersabda: 'Wahai Mu'adz, apakah
kamu menjadi pembuat fitnah?' Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. 'Kamu
bisa membaca surah al-A'la, al-Syams, dan al-Lail, karena para makmum di belakangmu
ada orang yang berusia lanjut, lemah, dan memiliki keperluan.'"
Pada saat itu, umat Islam mengalami kebingungan karena tindakan sahabat
yang begitu bersemangat, memanjangkan bacaan shalat hingga memberatkan makmum.
Banyak di antara makmum memilih keluar dari shalat berjamaah untuk shalat
sendiri. Lebih-lebih, ketika sahabat yang bersemangat itu mengatakan orang yang
memilih shalat sendirian adalah orang munafik.
Orang-orang kemudian mengadu kepada Rasulullah. Lantas siapakah yang
terkena marah? Rasulullah mengatakan, para sahabat yang memanjangkan bacaan
shalat sebagai munaffir, orang yang
menjauhkan orang lain dari agama Allah.
Cinta Buta terhadap Al-Qur'an
Selain itu terdapat hadis yang mengherankan dengan makna serupa. Hudzaifah
meriwayatkan, Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah seseorang
yang membaca Al-Qur'an, sehingga terlihat kebesaran Al-Qur'an pada dirinya. Dia
senantiasa membela Islam, kemudian ia mengubahnya, lantas ia terlepas darinya.
Ia mencampakkan Al-Qur'an dan pergi menemui tetangganya dengan membawa pedang
dan menuduhnya syirik. Saya (Hudzaifah) bertanya: 'Wahai Rasulullah, siapakah
di antara keduanya yang lebih berhak atas kesyirikan, yang dituduh ataukah yang
menuduh?' Beliau menjawab: 'Yang menuduh.' (H.R. Bazzar).
Al-Haitsami dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
dan Abu Ya'la dalam Musnad-nya
menganggap kualitas hadis ini hasan.
Sementara Ibnu Katsir mengomentari sanad hadis ini jayyid. Usamah Sayyid al-Azhari dari Universitas Al-Azhar Mesir
menganggap hadis ini penting untuk mendeskripsikan kondisi yang mengherankan
dari orang-orang yang memiliki semangat keberagamaan yang kuat.
Menurutnya, orang-orang yang terlalu bersemangat beragama mengalami tahapan
yang membingungkan. Dimulai dari mencintai Al-Qur'an, membaca bahkan
menghafalnya, tenggelam di dalamnya, lalu bersinar cahaya kitab suci itu
padanya. Namun, kemudian ia mengafirkan umat Islam, mengangkat senjata, dan
menumpahkan darah. Pada akhirnya, seperti yang disebut hadis, "ia mengubah
ayat Al-Qur'an".
Usamah Sayyid al-Azhari menerangkan, perubahan itu bukan berarti mengganti redaksi
ayat, tetapi mengubah makna sebenarnya yang disampaikan Al-Qur'an. Sadar
ataupun tidak. Orang seperti, lanjut Usamah Sayyid, terbuai dengan obsesi
menjadi seorang pengambil hukum (istimbath)
dari Al-Qur'an. Namun, ia tidak memiliki korpus pengetahuan teori ilmiah yang
jelas, di samping tertutupi oleh semangat keberagamaannya, dan sikap reaktif.
Ia cenderung menafsirkan Al-Qur'an dengan fantasi dan istimbath sendiri, kemudian menutupi kelemahan metodologisnya
dengan kutipan ayat-ayat Al-Qur'an.
Orang-orang yang melihatnya kemudian bingung dengan jati dirinya, apakah ia
telah menyimpang, atau usahanya itu sebagai sikap berkhidmah pada Al-Qur'an.
Sebagian orang ikut menyebarkan metode berpikirnya karena menganggap ia adalah orang
yang dekat dengan Al-Qur'an. Sebagian orang mengambil sikap membencinya, bahkan
berprasangka terhadap Al-Qur'an dan Islam secara umum.
Contoh Kekinian
Pada masa kontemporer, tidak sedikit muslim yang menggambarkan hadis itu.
Salah satu yang paling disorot dunia kini adalah Islamic State of Iraq and
Syria (ISIS). Turki bin Mubarak al-Ban'ali pada al-Lafdz al-Sani fi Tarjamah al-Adnani, mengupas Abu Muhammad
al-Adnani Taha Subhi Falaha, orang kedua ISIS sangat terinspirasi oleh Fi Dzilal al-Qur'an karya Sayyid Qutb, seorang
ulama yang sudah hafal Al-Qur'an sejak kecil. Bahkan ia membaca kitab itu
berulang kali selama 20 tahun, dan ingin menulisnya kembali dengan tangannya
sendiri.
Sebelum itu, Saleh Sariyah pada Risalah
al-Iman juga menganggap masyarakat saat ini adalah jahiliah, dan
menghadirkan konsep Dar Harb (wilayah
perang). Ada pula Syukri Musthafa dan kelompok al-Takfir wa al-Hijrah, atau Muhammad Abdus Salam Farj dengan
organisasi jihadnya dan karya al-Faridhah
al-Ghaiyyah. Serta banyak pula ulama atau organisasi serupa di berbagai
belahan dunia yang seperti digambarkan Rasulullah.
Pada akhirnya, tulisan ini juga bukan untuk menyalahkan apalagi mengatakan
lebih jauh, mengafirkan seseorang atau kelompok. Tetapi sudah menjadi jelas
bahwa rasa cinta terhadap agama perlu diiringi oleh ilmu yang tepat dan rasa
sensifitas terhadap manusia, seperti yang Rasulullah lakukan kepada sahabat
akibat perilakunya.
Agar kecintaan kita terhadap Al-Qur'an dan hadis sebagai sumber utama
berislam tidak berbalik menjadi pintu awal menistakan Islam itu sendiri. Wallahua'lam bi as-shawab.
*Penulis adalah mahasiswa S2 Ilmu Sejarah Hacettepe Üniversitesi
0 comments: